Sabtu, 09 April 2016

Memelihara Memori (Pon-Pes Daarul Rahman)

"Di tengah wilayah dengan kerikil tajam
Berdirilah tempat naungan panji Islam
Akan memberikan sebuah masa depan
Itulah Pondok Pesantren Daarul Rahman".

Penggalan syair tadi adalah untaian lagu mars Pon-Pes Daarul Rahman. Mars itu begitu membekas di hati para alumni ataupun santri yang pernah menimba ilmu di pesantren tersebut. Termasuk saya. Pada Minggu (20/3), digelar acara maulid Nabi Muhammad SAW, di Kebayoran Baru, Jakarta. Perayaan maulid kali ini begitu spesial karena akan menjadi maulid terakhir yang diselenggarakan di Pon-Pes Daarul Rahman 1 yang terletak di Senopati, Kebayoran Baru.

Seperti diketahui, Pon-Pes Daarul Rahman 1 yang terletak di bilangan Senopati itu akan berpindah tempat ke wilayah Jakarta lain, yakni Jagakarsa, Jakarta Selatan. Maka tak ayal, maulid kali ini menjadi sangat menguras kenangan, utamanya bagi para alumni yang pernah bertahun-tahun tinggal dan menuntut ilmu di sini. Kenangan akan sebuah bangunan tiga lantai Pon-Pes Daarul Rahman, tak hanya bermakna beton tembok semata. Lebih dari itu, disadari atau tidak, beton tembok itu adalah saksi mata perjalanan diri para santri untuk bertumbuh dewasa.

Di mana tempat tumbuh, baik secara fisik dan pemikiran banyak kami (para alumni) habiskan di sini. Kenangan akan kantor pelajar, kelas, masjid, kamar, dapur, hingga lapangan tak akan pernah hilang dari benak kami. Belasan tahun lalu, masih sangat terukir jelas di ingatan, bagaimana kaki kecil dari rumah ini menginjak tanah Daarul Rahman. Berjalan tegap menuju majlis ilmu, memandang kagum pada para senior ilmu. Iri setengah mati mendengar mereka berbicara menggunakan bahasa Arab dan Inggris. Saat itu, hanya amin dan amin yang kuucap. Semoga Allah menjadikanku salah satu penuntut ilmu yang istiqamah. Dan kalau boleh, pandai berbahasa asing.

Sekarang kutatap lagi beton tembok Daarul Rahman. Kutanyai mereka para tembok itu akan diri ini. Masih ingatkah mereka, kenalkah mereka, terpingkalkah mereka akan diriku? Akan para alumni yang datang menyapa ke sini? Karena dari kami, tak ada yang bisa kami sembunyikan satu pun jua dari beton tembok. Mereka para tembok, adalah saksi sejati waktu demi waktu yang tertinggal di belakang kami. Di depan teman-teman yang hadir, kami bisa saja tak menceritakan tentang kebodohan diri, kemunafikan hati, atau apapun yang tak menyenangkan untuk diungkap. Tapi di depan benda mati, sebuah bangunan tiga lantai di Jalan Senopati ini, tak ada yang bisa kami sembunyikan satu hal pun jua.

Mereka benda mati, tapi saksi.

Tentu, setiap hal tak ada yang abadi. Hanya kenangan yang membekas yang terus menemani riwayat hidup diri.

Pon-Pes Daarul Rahman telah berdiri hampir 40 tahun lamanya. Telah banyak menelurkan generasi terbaik bangsa di berbagai sektor. Globalisasi menggerus pendidikan. Tanpa ampun 'melenyapkan' bangunan tiga lantai beserta seluruh kenangannya.

Life must go on, itu yang harus dilakukan jika tak ingin terpuruk oleh keadaan. Jika tak begitu, manusia tak akan belajar.

Daarul Rahman adalah rumah, sekolah, teman, keluarga, cinta, kenangan, perjalanan, dan harapan. Sampai jumpa dengan wajah barumu, Daarul Rahman. Gaungkan lagi pendidikan berbasis agama dan budaya demi agama dan bangsa.

Tulisan ini, adalah upayaku sebagai manusia dalam memelihara memori.

With peace and love,
@sundakelapa90

Ditulis sejak 20 Maret-10 April 2016. Insya Allah akan berlanjut dalam sebuah buku tentang sejarah Pondok Pesantren Daarul Rahman.

Senin, 07 Maret 2016

Banjir Jakarta Dari Masa Ke Masa (Part 1)

Banjir Jakarta bukanlah permasalah satu dua tahun yang ada di Jakarta. Berbagai faktor turut memengaruhi adanya banjir tergantung dari bagaimana perkembangan populasi masyarakat Jakarta, perubahan iklim, geografis Jakarta, hingga pola hidup masyarakatnya.

Sejarah mencatat, banjir melanda Jakarta telah terjadi saat pemerintahan Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara. Hal itu dituliskan secara jelas di dalam Prasasti Tugu, salah satu bukti literasi peninggalan Tarumanegara. Untuk mengantisipasi banjir datang kembali, Purnawarman memerintahkan pejabat dan rakyatnya untuk menggali Kali Chandrabhaga (Kali Bekasi) untuk mengalirkan airnya ke laut.
Lalu dua tahun setelahnya, Purnawarman juga menggali Kali Gomati. Penggalian Kali Gomati dilakukan pada 8 Paro petang bulan Phalguna dan selesai pada 13 Paro petang bulan Caitra. Jika dalam penanggalan Masehi, penggalian tersebut dilakukan dimulai Februari hingga April. Yang menarik, dalam penggalian Kali Gomati ini, Purnawarman menyembelih 1.000 ekor sapi sebagai tumbal. Menurut keyakinan pada saat itu, kepala sapi yang dipotong dan dikubur di dasar kali merupakan ritual kepercayaan agar tidak diganggu roh jahat selama melangsungkan pekerjaan yang berhubungan dengan alam.

Penggalian Kali Chandrabhaga dan Kali Gomati adalah salah satu sikap kerajaan tersebut yang telah menyadari bahwasannya letak geografis Jakarta merupakan dataran rendah yang rawan digenangi air saat curah hujan tinggi. Maka antisipasi yang dilakukan banjir adalah dengan mengalirkan air sungai tersebut ke laut dengan seminimim mungkin hambatan.

Di era Kolonial Belanda, banjir pertama melanda Jakarta--di era Kolonial Belanda disebut Batavia--adalah pada 1621. Banjir pertama di masa kekuasaan Vereenigde Oostindische Compaginie (VOC) yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen ini merupakan banjir yang cukup membuatnya kewalahan. Pasalnya, saat itu Batavia belum dihuni oleh banyak orang. Maka, Coen mendatangkan orang-orang di seluruh Nusantara dengan latar belakang etnis berbeda seperti Makassar, Ambon, Manggarai, Jawa, Bali, Eropa, Cina, Arab, dan India untuk menempati Batavia.

Dengan teknologi minim dan sumber daya manusia yang belum masif, rumah-rumah kayu pemukiman penduduk Batavia rentan terhadap banjir. Pasca-banjir, warga Batavia masih didera kesulitan. Yakni putusnya jalur transportasi--yang kala itu jalan hanya tanah--becek dan berlumpur sehingga tidak bisa dilalui oleh roda-roda kereta kuda.

Namun, datangnya banjir pada masa itu bukan tanpa antisipasi. Pemerintah Kolonial sudah membangun kanal sejak dua tahun sebelum datangnya banjir dengan pola sistem kanal seperti yang dilakukan Pemerintah Belanda di Amsterdam. Hanya saja sistem kanal ini tidak berfungsi dengan baik karena debit air cukup besar dan genangan air tinggi. Hal inilah yang membuat Belanda gagal memahami wilayah Batavia yang berbeda secara topografis dan geografis dengan Amsterdam.

Batavia berada di bawah permukaan laut sehingga sulit mengalirkan air ke laut lewat sistem kanal. Topografinya rendah berupa rawa-rawa, hutan, dan semak belukar yang luas sehingga pasca-banjir, dataran dan permukaan Batavia penuh dengan lumpur. Tak terkecuali, pasca-banjir pun kondisi kanal penuh dengan sampah dan lumpur yang menimbulkan bau tak sedap dan juga penyakit seperti diare dan kolera. Untuk mengeruk sampah dan lumpur tersebut, Pemerintah Kolonial membutuhkan waktu yang lama, peralatan yang banyak, hingga biaya yang sangat besar. Sehingga sistem kanal, justru membuat permasalahan baru di masa itu bagi Pemerintah Kolonial.

Seiring berjalannya waktu, banjir tetap datang menghampiri Batavia. Belanda di satu sisi tidak dapat membenahi banjir dengan baik, namun bukan berarti tidak berkontribusi akan penanggulangan banjir sama sekali. Salah satu peninggalan Pemerintah Kolonial dalam penanunggalangan banjir yang bisa dirasakan hingga kini adalah: Bendung Katulampa, Bogor. Bendungan ini berfungsi sebagai pemantau debit air sebagai informasi antisipasi banjir di Jakarta.

Kini, menjelang pemilihan gubernur (pilgub) DKI Jakarta 2017, beragam tokoh mulai saling berbicara tentang Jakarta di berbagai media. Salah satu yang dibicarakan adalah mengenai permasalahan Jakarta. Meski sedikit muak--menjelang pilgub ini--para politisi sudah saling serang. Pemanasan barangkali. Namun yang harus digarisbawahi, telitilah dalam memili kepala daerah. Perhatikan secara rasional. Utamanya soal banjir, korek lebih dalam kepada bakal cagub DKI Jakarta, gagasan apa yang akan dilakukan untuk menanggulangi banjir Jakarta.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 7 Maret 2016
Pukul 19.09 WIB

Rabu, 02 Maret 2016

Wacana Kemanusiaan

Hari ini, kemanusiaan masih menjadi barang yang paling sibuk dibicarakan. Di panggung apapun, kemanusiaan menjadi hal yang selalu dikatakan. Lihat saja Israel, dengan telanjang mata mempertontonkan kebiadabannya pada Palestina di hadapan dunia, dia sering mengatasnamakan kemanusiaan sebagai dalih menutupi kebiadabannya.

Kemanusiaan menjadi barang dagangan. Diperdebatkan-perjuangkan, tapi di sisi lain juga kerap dilupakan-diacuhkan.

Contoh terdekatnya soal kemanusiaan yang tergerus adalah, terlalu sering kita meninggalkan dunia nyata. Kemanusiaan seolah hanya dinilai dari like Facebook atau banyaknya jumlah reshare di akun sosial media. Padahal, riuhnya dunia maya jarang berimbas pada dunia nyata (bukan berarti tidak berimbas sama sekali. Banyak kasus yang diangkat ke permukaan nyata karena riuhnya dunia maya).

Ketika kasus bocah Suriah Aylan Kurdi marak dibicarakan di dunia maya, dunia nyata merespons. Banyak dari kita bertindak karena nurani kita terenyuh. Ada yang menghujat mati-matian kepada mereka para pengacau, menyebarluaskan foto Aylan di sosial media, hingga merepresentasikan kegamangan di Timur Tengah dengan karya seni dan lainnya. Tapi apakah kita semua sadar bahwa, banyak dari Aylan-Aylan lainnya di depan mata kita detik ini?

Tengok bagaimana kebisingan politik dua kubu yang terjal pasca-Pilpres 2014 yang melibatkan massa di dunia maya, mengalihkan pikiran kita pada bagaimana harusnya bangsa ini melangkah merawat generasi bangsa. Sadarkah kita bahwa Aylan-Aylan lainnya jumlahnya banyak di negeri ini? Mereka mungkin tidak tewas mengenaskan terombang-ambing ombak laut seperti Aylan, tapi bisa jadi hampir mati karena tayangan media yang tak mendidik, putus sekolah, kelaparan, hingga menderita penyakit mematikan.

Lagi-lagi, kemanusiaan adalah urat nadi perdebatan.

Kemanusiaan adalah wacana. Wacana yang tak memiliki gagasan konkret untuk melangkah bersama dalam mewujudkannya menjadi nyata. Tengoklah ke luar rumah, betapa banyak pepohonan mati akibat keserakahan manusia. Di mana kemanusiaan kita terhadap alam ini? Ah, atau lihat lagi bagaimana sikap kita menjalankan silaturrahmi. 'Pagar rumah' menjadi kecenderungan orang untuk hidup makin individualis.

Saya melihat bagaimana masyarakat dunia menjadi terbuka di satu sisi, namun di sisi lain justru semakin tertutup. Membuka diri akan hal-hal yang mereka senangi, tapi menutup mata akan hal-hal yang ingin dihindari. Hari ini saya bermimpi setiap dari kita menghentikan perdebatan akan kemanusiaan. Bergeraklah bersama untuk menopang cita-cita yang menjadi esensi kemanusiaan itu sendiri.

With peace and love,
@sundakelapa90

Jakarta Pusat, 2 Maret 2016
Pukul 15.07

(Note: tulisan ini juga dipublikasikan di blog Ikatan Keluarga Alumni Pon-Pes Daarul Rahman dengan alamat blog ikdarindependen.wordpress.com)

Senin, 29 Februari 2016

Manusia Dua Daya (Part 1)

Terdapat dua daya dalam diri manusia: maskulin dan feminin. Kedua daya tersebut bukan melulu mengacu pada gender, tapi pada hal penting lain yang menentukan sikap dan kebijakan tiap insan terhadap sekitarnya. Daya maskulin dikaitkan dengan otak dan otot, sementara daya feminin kerap dikaitkan dengan hati. Sebagai contoh, banyak dari para tokoh yang memiliki keseimbangan memadukan keduanya sehingga sukses luar biasa dalam bidangnya. Contohnya bagi saya adalah BJ. Habibie, Cut Nyak Deviana, Pramoedya Ananta Toer, Gus Dur, dan lain-lain.

Sementara total yang hanya menggunakan satu daya saja, kerap menimbulkan kehancuran. Para politisi dan pemimpin dunia secara global, sering mengedepankan maskulinitas untuk mendongkrak keinginan atau keuntungan kelompok dan pribadinya. Sehingga tak heran, banyak kehancuran di mana-mana. Perang, kolonialisme, imperialisme, korupsi, dan perbudakan.

Saya ingin mengambil contoh paling dekat, misalnya penggusuran Kampung Pulo yang dilakukan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ahok mengentikan komunikasi yang buntu antara Pemprov DKI Jakarta dan warga Kampung Pulo dengan mengambil tindakan paksa yang--bagi saya--sangat menggerus moral dan juga HAM. Penggusuran dilangsungkan dengan dalih relokasi. Ahok bahkan dengan gambalang mengatakan bahwa tidak perlu menggunakan hati dan otak, cukup otot saja dalam membenahi Kampung Pulo. Akhirnya, terjadi pertumpahan darah, ambil paksa tanah warga (ada yang bergirik, dan bahkan bersertifikat), dan tontonan perkelahian antara aparatur negara dan rakyat jelata. Inilah yang saya sebut sebagai daya maskulin menanggalkan daya feminin.

Dulu pada Orde Baru, Soeharto menutup semua suara 'bising' yang mengkritik diri dan pemerintahannya. Tentara digerakkan, suara-suara dibungkam, dan pengebirian HAM terjadi secara masif dan terstruktur. Secara verbal, Soeharto menunjukkan daya feminisnya. Tapi tentu, feminisme semu. Seperti senyumnya yang khas yang selalu ditunjukkan dalam hal apapun, pembangunan nasional, hingga pengendalian harga bahan-bahan pokok. Kesemuan ini akhirnya terkuak secara perlahan seiring dengan berjalannya waktu dan menunjukkan kepada kita bahwa Soeharto hanya mengendalikan daya maskulinnya semata.

Di ranah agama, tidak terhitung orang yang dengan dalih apapun, justru lebih mengedepankan ototnya. Ranah nasional kita kenal dengan Pemimpin FPI Habib Rizieq. Tidak terhitung aksi Rizieq yang lebih sarat kekerasan, sehingga jangankan untuk mendengar nasihatnya, orang seperti saya--akan berpikir jutaan kali untuk menjadi muridnya.

Daya maskulin dan feminin adalah dua kekuatan yang menemani diri manusia. Kekuatan tersebut yang berada dalam satu medium (tubuh), sering berlomba-lomba untuk lebih unggul satu sama lainnya. Berat sebelah sedikit saja, maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam hal-hal yang kita lakukan. Maka sebagai umat yang beragama, layaknya kita mengacu pada konteks iman.

Iman adalah sebuah kepercayaan. Kepercayaan bisa didapat jika kita sudah merasa tenang, damai, pandai menerima perbedaan, mendengarkan lebih banyak, dan membaca kehidupan lebih luas. Iman adalah merasa tenang, tak takut akan keyakinan diri atas keyakinan orang lain. Iman adalah tenang, tak takut dikalahi nafsu birokrasi meski banyak godaan sana-sini. Iman adalah tenang, tak takut mencari kata mufakat meski harus melewati musyawarah yang cukup lama. Iman adalah tenang, di atas daya, masih ada Sang Pencipta Daya. Maka untuk apa mengikuti satu daya saja jika Tuhan menitipkan dua pada kita?

Saya ingin menulis tentang seseorang yang sangat luar biasa. Tentang keseimbangan diri yang ia jaga. Tentang kebijakannya yang meliputi dua daya. Tentang dia, adalah Baginda Muhammad Rasulullah. Dialah manusia dua daya. Warisannya menggenapi alam semesta.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 1 Maret 2016
Pukul 06.11

Sabtu, 27 Februari 2016

Jadilah Kata-Katamu (Memoar diri akan SDA)


Saat itu usiaku 16 tahun. Saat itu, kuingat bagaimana groginya aku yang akan melangsungkan pelantikan diriku sebagai pengurus di salah satu pondok pesantren di bilangan Jakarta Selatan. Aku grogi bukan karena ingin jadi pengurus, tapi grogi karena pelantikan itu akan dihadiri oleh tamu spesial. Dalam kamus hidup keluargaku, pengertian tamu spesial adalah dua hal: pertama dagangan ibu laris, kedua adalah datangnya penjual baju kreditan ke rumah, seminggu sebelum Hari Raya. Tapi kali ini, aku menemukan makna baru akan sebuah tamu. Kali ini, tamu itu bahkan berbentuk manusia yang lain dari sekadar jualan ibu yang laris ataupun penjual baju kreditan. Tamu itu adalah manusia terhormat. Seorang menteri.

Aku hanya tahu menteri itu dari surat kabar yang kubaca tiap pagi dari Divisi Penerangan Pesantren. Aku tahu wajahnya, jabatannya, serta kendaraan politiknya. Di luar itu, bagaimana pemikirannya dan bagaimana dia, aku tak tahu. Yang kutahu, dia adalah terhormat. Terhormat bukan main hingga membuatku grogi. Inilah kali pertama bagiku bertemu dengan seorang menteri dalam panggung terhormat jua.

Detik itu tiba juga, di saat aku naik ke atas panggung untuk dibaiat, kulihat satu-satu wajah di kursi paling depan. Mana si Menteri itu, mana dia? Dia yang membuatku grogi setengah mati, mana dia?

Beberapa saat mataku mencari, kutemukan dia duduk berdampingan dengan Kyaiku. Perawakannya sedikit berbeda dari gambar yang ada di surat kabar ternyata. Si Menteri ini terlihat lebih bersih kulitnya dan berperawakan tinggi. Sepanjang duduk bersebelahan dengan Kyaiku, Si Menteri terlihat ramah. Gestur tubuhnya menunjukkan betapa ia sangat menghormati Kyaiku. Tubuhnya dibungkuk-bungkukkan saat perbincangan dengan Kyaiku itu. Masya Allah... inikah manusia terhormat itu? Menghormati Kyaiku yang lebih tua darinya yang seorang menteri negara.

Usai dibaiat diiringi kalimat sakral yang sangat luar biasa, Menteri itu naik ke atas panggung. Menjumpaiku dan mengucapkan selamat serta memberikan petuah untuk terus semangat dalam berorganisasi. Mendengar kata-katanya, aku bangga. Bangga akan menteri ini.

Usai aku turun ke panggung, si Menteri tetap di atas panggung untuk berbicara di podiumnya. Tentang hal ini, tak akan kubiarkan sedikitpun kata-katanya lewat dari telingaku. Kurekam baik-baik perkataannya, perkataan yang penuh gairah muda untuk remaja sepertiku dulu. Potongan wejangannya:

"Anak-anak yang barusan dibaiat adalah aset bangsa. Pelipur para orangtua. Pemikir dan penerus bangsa yang memiliki nilai plus. Agama dan ilmu yang dimilikinya adalah bekal untuk memajukan bangsa.

Kita butuh generasi muda yang penuh semangat, menatap masa depan bangsa dengan cita-cita. Generasi muda yang kuat, generasi muda yang tidak mudah loyo. Maka, anakku, santri-santri di sini, jadilah generasi muda yang tidak loyo! Yang mengerti ke mana arah bangsa dan negara berpacu."

Bagiku, kenangan itu menjadi sangat manis bagiku. Mulai saat itu jua, aku terus mencari-cari namanya di Media Massa. Karena bagiku yang sedang pesantren, hal itulah yang bisa dimungkinkan untuk dapat mengetahui kabar terbaru darinya. Mungkin karena dialah pejabat satu-satunya yang berinteraksi secara dekat dengan aku dan pesantrenku, maka kumasukkan dirinya dalam daftar orang-orang penting di hidupku.

Bayangan akan kenangan manisku saat pesantren itu pun buyar saat teman-temanku yang ada di sampingku tertawa geli melihat tayangan di sebuah televisi saat kami sedang menunggu narasumber di Kementerian Hukum dan HAM. Tayangan tersebut menampilkan diskusi para pejabat negara dan pengacara, topik yang dibicarakan adalah tentang dualisme partai politik yang tengah sengit kala itu. Kebetulan, partai tunggangan menteri itu pun menjadi salah satu partai yang tengah mengalami dualisme. Tapi, yang membuat teman-temanku tertawa adalah saat kamera men-shoot si Menteri yang tengah duduk melipat kedua tangannya di dada, dan dengan raut wajah serius mendengarkan pembicaraan yang tengah berlangsung. Ia duduk di sana, dalam status dirinya sebagai tersangka korupsi yang ditetapkan oleh KPK.

Dengan nada mengolok, melihat gambar si Menteri di televisi, ia berucap: "Lagi apa dia di sana? Kuliah umum?". Celetukannya itu langsung disambung tawa oleh teman-temanku lainnya. Aku pun ikut tertawa, sekaligus hatiku teriris. Usai itu, aku berjalan lunglai menyendiri. Menenggelamkan pikiranku kembali akan memori manis tentang si Menteri. Tapi seribu tapi, apa yang terjadi kenangan itu kini kuanggap sebagai panggung politik yang hanya mempertontonkan hiburan tak segar.

Untuk si menteri, terima kasih telah memberiku wejangan dan kesan luar biasa dari orang yang luar biasa. Selesaikanlah urusanmu dengan negara, mohon maaflah pada rakyat dan Tuhan Yang Maha Esa. Jangan loyo untuk mengaku salah. Jangan loyo dan kalah oleh derasnya nafsu dan keserakahan diri.

Pak Surya Dharma Ali, jadilah seperti kata-katamu yang pernah kau ucapkan dulu.

Tentang Kasus SDA:

1. SDA terlibat kasus korupsi Dana Operasional Menteri (DOM) 2013-2014

2. SDA menyewengkan kuota haji sebanyak 33 orang kepada anggota DPR saat menjabat sebagai Menteri Agama

3. Pada tahun 2014 SDA ditetapkan menjadi tersangka dan pada April 2015 ditahan oleh KPK.

4. SDA sempat mengajukan pra-pra-peradilan, yang kemudian ditolak oleh Mahkamah Agung Jaksel. Hakim yang memutus perkara adalah seorang perempuan.

5. Saksi dalam kasus korupsi SDA di antaranya dari kalangan menteri, dirjen Kementerian Agama, hingga pihak swasta yang bekerjasama dengan Kemenag.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 28 Februari 2016
Pukul 06.40 WIB

Kamis, 25 Februari 2016

Berbudaya, Beragama, Bersaudara

Lelah. Malas. Tapi geram.

Itulah perasaan saya ketika membaca tulisan dalam meme ataupun artikel tentang hal-hal yang harusnya sudah final, tapi diperdebatkan dengan menarik urat oleh sebagian kalangan muslim. Tentang menulis kalimat Insya Allah-In Syaa Allah, Amin-Aamiin, dan juga perdebatan tentang mengucapkan hari besar perayaan agama orang lain.

Setiap tahun berulang. Itu-itu saja yang dibahas. Sadarkah mereka jika itu hanya akan menguras energi dan waktu?

Di balik dunia sana, orang sudah berpikir bagaimana bisa menghasilkan bibit padi yang bisa tumbuh dan panen hanya dalam hitungan hari. Atau ada juga yang berpikir menciptakan kendaraan udara semacam mobil, meracik obat-obatan pencegah demensia, atau memberikan terapi ampuh untuk mengurangi halusinasi orang dengan skizofrenia.

Itu sebabnya saya sangat menyayangkan kejadian remeh-temeh ini terus diperdebatkan di sebagian kalangan muslim. Mengklaim diri paling benar, menegasikan orang lain, dan bertindak dengan arogan seolah wakil Tuhan.

Marilah kita kembali kepada dasar diri manusia diciptakan ke bumi: menjadi pemimpin. Pemimpin untuk dirinya sendiri. Pemimpin untuk nuraninya, pemimpin untuk hatinya, pemimpin untuk penanya, pemimpin untuk tutur katanya, pemimpin untuk sikapnya, dan pemimpin untuk segala hal yang menjadi tanggung jawabnya.

Jadilah pembicara, penulis, penyanyi, penda'i, pengajar, pengamat, yang terus menebarkan kesejukan. Menjadi candu bagi mereka yang haus ilmu dan persaudaraan. Jadilah seluruh tutur kata dan laku menjadi hal yang paling menyejukkan di dunia. Menjadi yang paling ditunggu oleh setiap pemimpin di bumi. Menjadi manusia berbudaya beragama bersaudara.

Tulisan ini, saya pun takut akan menjadi bumerang untuk diri saya sendiri. Siapa yang tak lupa jika saya juga manusia, yang tak luput dari salah dan dosa. Mohon maaf jika ada salah-salah kata, tegur saya jika salah.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 25 Februari 2016
Pukul 20.50 WIB

Senin, 15 Februari 2016

Memahami Pulau Sempu (Part 2)

Setelah berjalan kaki kurang lebih tiga kilometer, akhirnya kami berenam tiba di Segara Anakan. 15 menit sebelum tiba di titik pusat Segara Anakan, kami telah mencium wangi laut yang cukup amis. Karena jalan menuju titik pusat Segara Anakan seperti memutari anak laut, maka dari jarak ini kami berdamping-dampingan dengan anak laut. Dari sini terlihat jelas bagaimana air laut Segara Anakan yang begitu jernih, sehingga menampakkan dengan jelas beragam ikan laut yang berenang di dalamnya.

Aku tak sabar. Tak sabar untuk sampai!

Ransel di pundakku serasa tak berat sama sekali. Aku tak lagi meminum air mineral, aku tak haus air. Aku hanya haus untuk tiba di Segara Anakan. Tapi, karena langkahku, My Special One, dan Pak Guide (aku lupa siapa namanya) lebih cepat dibanding keempat teman Malaysia kami, jadilah kami menunggu mereka muncul terlebih dahulu untuk dapat sampai ke Segara Anakan bersama-sama.

Dalam proses menunggu ini, aku memerhatikan sekeliling. Hutan belantara, keheningan, dan juga kuasa Tuhan. Entah mengapa, yang terbesit di benakku dalam suasana begini adalah J.K Rowling. Aku berpikir sendiri kenapa imajinasi Rowling menabrak dimensi imajinasi manusia kebanyakan? Mengapa dengan tema penyihir saja, Rowling bisa menyambungkan imajinasinya dengan beragam fantasi. Dan 'menyulap' imajinasi tersebut menjadi dunia nyata.

Kekagumanku pada Rowling makin bertambah hari itu. Bukan karena kisah Harry Potter begitu memikat, tapi karena objek yang diambil Rowling adalah tentang sihir. Di sini, entah disadari atau tidak oleh banyak pembaca dan penikmat seri fiksi imajinatif, bahwa dengan memasukkan tema sihir dalam karyanya, Rowling bisa lebih lentur memainkan drama. Dalam dunia nyata saja, banyak manusia yang sering berkhayal untuk cepat ini cepat itu. Andai ini andai itu. Dimensi sihir cukup fleksibel dalam menciptakan ruang baru khayal yang cukup realistis. Tapi nilai plus lain dari Rowling tak hanya membiarkan pembaca untuk terjebak dalam arus khayal dan magis, tapi juga memberikan pakem normatif yang sangat bijak. Seperti sistem sihir yang diterapkan di Hogwart. Satu kata untuk ini: briliant!

Sudahlah, jauh sekali aku memikirkan Rowling. Manusia itu memang ajaib. Tapi jujur dari hati, karena Rowling begitu 'rakus' menulis tentang imajinasi, aku kehilangan banyak objek dan ruang gerak (maklum, penulis amatiran. Belum banyak ide).

Whatever, will or without Rowling in this world, nyatanya imajinasiku terpancing juga dengan aura hutan belantara ini. Entah, ada beberapa tokoh hidup di kepalaku. Satu, dua, dan tiga muncul. Tentang binatang, kerakusan manusia, dan kemalangan manusia yang lain. Hutan, perburuan, kasih sayang semu, keluarga, binatang, dan kekuatan diri. Pikiranku mulai merangkai cerita, berjibaku dengan konflik, dan berdendang dengan gila. Pikiran ini yang kemudian merangsang bibirku untuk tersenyum. My Special One menatap senyumku, kemudian acuh lagi. Mungkin ia berpikir bahwa aku tengah kegirangan karena akan sampai ke Segara Anakan. Ha-ha.

Akhirnya, keempat teman Malaysia kami tiba. Perjalanan dilanjutkan kembali dan selang beberapa menit, kami tiba di titik utama Segara Anakan. Panas terik mini pantai ini menyambut kami. Terik yang luar biasa membuat tak satupun manusia yang rela berdiri di pasir pantai. Semua mengungsi ke pinggir, berteduh di pepohonan rindang yang menjadi tempat tinggal kera. Baru saja tiba, kami segera mendirikan tenda. Karena takut air laut pasang tiba-tiba, kami mendirikan tenda agak belakang tak jauh dari perkampungan kera. Ya, meski terkadang manusia sering menolak teori Darwin, tapi nyatanya antara manusia dan kera tetap saling berdampingan dan berbagi lahan. Nasib.

Usai mendirikan tenda, keempat teman Malaysia kami memutuskan untuk duduk santai dan beberapa ada yang merebahkan diri. Sementara aku dan My Special One membuka bekal dan melahapnya. Dalam makan siang ini, aku banyak berbincang dengan teman-teman Malaysiaku. Tentang alam, film, sepakbola, hingga UMR Jakarta dan nasib sarjana Indonesia. Dalam perbincangan inilah aku menangkap beberapa poin: kesetaraan, kemanusiaan, dan pengabdian alam pada manusia.

Dalam beberapa hal, teman Malaysiaku secara eksplisit memuji manusia Indonesia yang dibilangnya cukup artistik. Everywhere is music. Karena mereka baru saja pulang dari Semeru, aku menduga mereka cukup kagum dengan beberapa pendaki Indonesia di Semeru yang bersusah-susah memikul carier tapi masih menyelipkan gitar untuk dibawa sepanjang jalan. Itu baru musik, belum hal lainnya semisal kesenian benda dan warisan budaya tak benda. Tapi kutegaskan pada mereka, manusia adalah manusia. Antara manusia Indonesia dan Malaysia, semua adalah sama. Yang membedakan manusia Indonesia dan Malaysia hanyalah secarik dokumen. Bagiku, nasionalisme melintasi batas. Tak hanya geografis belaka, lebih dari itu bagaimana kita bisa melihat manusia adalah makhluk Tuhan yang sama dan memiliki hak bahagia, dialah nasionalisme. Alam ini, kataku pada mereka, bukanlah milik orang Indonesia ataupun pemerintahnya. Secara dokumen, ya. Tapi secara bahasa yang lebih manusiawi, alam ini milik dunia. Bukan hanya orang Indonesia yang wajib menjaganya, tapi juga siapapun mereka yang menamakan dirinya adalah manusia. Karena dunia harusnya tak dikotak-kotakkan dengan keserakahan dan aroganisme manusia, maka meski berbeda dokumen antara kita, marilah bergandengan tangan memupuk kedamaian dan persatuan dengan bibit terbaik.

Tentang sarjana Indonesia yang digaji murah oleh pemerintahnya, aku katakan pada mereka bahwa Tuhan tak pelit dalam membagikan ilmunya. Meski pemerintah Indonesia lemah, tapi banyak dari rakyatnya tidak. Berjuang mencari rezeki di luar pekerjaan formal, atau menciptakan lapangan pekerjaan baru, adalah salah satu contoh mengapa banyak sarjana Indonesia yang bisa bertahan hidup dan bahkan menghidupi banyak sektor non-formal. Meski tak sedikit juga sarjana Indonesia yang 'nyampah', merengek pekerjaan dengan skil pas-pasan. Hal itu silakan dimaknai sendiri.

Dari Segara Anakan di Pulau Sempu ini, rasanya aku ingin matahari segera tenggelam. Biar malam menampakkan wajahnya. Bersama bintang-bintang berserakkan di angkasa. Biar alu belajar, biar aku terus paham apa artinya Tuhan menitipkan Sempu kepada manusia.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 16 Februari 2016
Pukul 09.09 WIB